KISAH ROBIA'H AL-ADAWIYAH
Rabi’ah binti Ismail
al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang terkenal dalam sejarah Islam. Dia
dilahirkan sekitar awal kurun kedua Hijrah dekat kota Basrah di Irak. Dia lahir
di sebuah keluarga yang miskin dari segi materi namun kaya dengan peribadatan kepada
Allah. Ayahnya pula hanya bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai
Dijlah dengan menggunakan sampan.
Pada akhir abad pertama
Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah yang
sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin
bebas dan orang ramai berlomba-lomba mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan
maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin
diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara ‘serta
zuhud hampir lenyap sama sekali.
Namun begitu, Allah telah
memelihara sejumlah kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah
tersebut. Pada saat itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf
Islami yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Pengikutnya terdiri dari pria dan
wanita. Mereka menghabiskan waktu dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani
mengatasi segala tuntutan udara nafu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai
hamba yang benar-benar taat.
Bapa Rabi’ah merupakan hamba
yang sangat bertaqwa, tersingkir dari kemewahan dunia dan tidak pernah letih
bersyukur kepada Allah. Dia mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang
berjiwa bersih. Pendidikan yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata.
Natijahnya Rabi’ah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati isi al-Quran
sehigga berhasil menghafal konten al-Quran. Sejak kecil lagi Rabi’ah
sememangnya berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang tinggi serta keimanan yang
mendalam.
Menjelang kedewasaannya,
kehidupannya menjadi serba sempit. Keadaan itu semakin buruk setelah beliau
ditinggalkan ayah dan ibunya. Rabi’ah juga tidak bebas dari ujian yang
bertujuan membuktikan keteguhan iman. Ada riwayat yang mengatakan beliau telah
terjebak dalam kancah maksiat. Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan dasar
keimanan yang belum padam di hatinya, dia dipermudahkan oleh Allah untuk
kembali bertaubat. Babak-babak taubat inilah yang mungkin dapat menyedar serta
mendorong hati kita merasai cara yang sepatutnya seorang hamba brgantung harap ke
belas ihsan Tuhannya.
Marilah kita teliti ucapan
Rabi’ah sewaktu kesunyian di ketenangan malam ketika bermunajat kepada Allah:
“Ya Allah, ya Tuhanku. Aku
berlindung diri kepada Engkau dari segala yang ada yang dapat memalingkan diri
dari-Mu, dari segala Pendinding yang dapat mendinding antara aku dengan Engkau!
“Tuhanku! bintang-bintang
telah menjelma indah, mata telah tidur nyenyak, semua pemilik telah menutup
pintunya dan inilah dudukku di hadapan-Mu.
“Tuhanku! Tidak ada kudengar
suara binatang yang mengaum, tiada desiran pohon yang bergeser, tiada desiran
air yang mengalir, tiada siulan burung yang menyanyi, tiada nikmatnya teduhan
yang melindungi, tiada tiupan angin yang nyaman, tiada dentuman guruh yang
menakutkan melainkan aku dapati semua itu menjadi bukti keesaan -Mu dan
menunjukkan tiada sesuatu yang menyamai-Mu.
“Sekelian manusia telah tidur
dan semua orang telah lalai dengan asyik maksyuknya. Yang tinggal hanya Rabi’ah
yang banyak kesalahan di hadapan-Mu. Maka moga-moga Engkau berikan suatu pandangan
kepadanya yang akan menahannya dari tidur supaya dia dapat melayani-Mu. ”
Rabi’ah juga pernah meraung
memohon belas ihsan Allah SWT:
“Tuhanku! Engkau akan
mendekatkan orang yang dekat di dalam kesunyian kepada keagungan-Mu. Semua ikan
di laut bertasbih di dalam lautan yang mendalam dan karena kebesaran
kesucian-Mu, ombak di laut bertepukan. Engkaulah Tuhan yang sujud kepada-Nya
malam yang gelap, siang yang terang, falak yang bulat, bulan yang bercahaya,
bintang yang berkerdipan dan setiap sesuatu di sisi-Mu dengan takdir sebab
Engkaulah Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Perkasa. ”
Setiap malam begitulah
keadaan Rabi’ah. Apabila fajar menyinsing, Rabi’ah terus juga bermunajat dengan
ungkapan seperti:
“Wahai Tuhanku! Malam yang
akan pergi dan siang pula akan mengganti. Wahai malangnya diri! Apakah Engkau
akan menerima malamku ini supaya aku merasa bahagia ataupun Engkau akan
menolaknya maka aku diberikan takziah? Demi kemuliaan-Mu, jadikanlah caraku ini
kekal selama Engkau menghidupkan aku dan bantulah aku di atasnya. Demi
kemuliaan-Mu, jika Engkau menghalauku dari pintu-Mu itu, niscaya aku akan tetap
tidak bergerak juga dari situ disebabkan hatiku sangat cinta kepada-Mu. ”
Seperkara menarik tentang
diri Rabi’ah ialah dia menolak lamaran untuk menikah dengan alasan:
“Pernikahan itu memang perlu
bagi siapa yang memiliki pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk
diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak memiliki
apa-apa pun. ”
Rabi’ah seolah-olah tidak
mengenali yang lain dari Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah
semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan
Allah. Rabi’ah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya
kepada akhirat semata-mata. Dia selalu meletakkan kain kapannya di hadapannya
dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.
Selama 30 tahun dia
terus-menerus mengulangi kata-kata ini dalam salatnya:
“Ya Tuhanku! Tenggelamkanlah
aku di dalam kecintaan-Mu supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku dari-Mu.
”
Antara syairnya yang masyhur
berbunyi:
“Kekasihku
tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun,
Tidak ada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun,
Kekasihku ghaib dari penglihatanku dan peribadiku sekalipun,
Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun. ”
Tidak ada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun,
Kekasihku ghaib dari penglihatanku dan peribadiku sekalipun,
Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun. ”
Rabi’ah telah membentuk satu
cara yang luar biasa di dalam mencintai Allah. Dia menjadikan kecintaan pada
Ilahi itu sebagai satu cara untuk membersihkan hati dan jiwa. Dia memulai paham
sufinya dengan menanamkan rasa takut kepada kemurkaan Allah seperti yang pernah
diluahkannya:
“Wahai Tuhanku! Apakah Engkau
akan membakar dengan api hati yang mencintai-Mu dan lisan yang menyebut-Mu dan
hamba yang takut kepada-Mu? ”
Kecintaan Rabi’ah kepada
Allah berjaya melewati pengharapan untuk beroleh syurga Allah semata-mata.
“Jika aku menyembah-Mu karena
takut dari api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku
menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya!
Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku
balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia
itu. ”
Begitulah keadaan kehidupan
Rabi’ah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada-Nya.
Sekarang mari kita tinjau
diri sendiri pula. Apakah kita menyadari satu hakikat yang disebut oleh Allah
di dalam Surah Ali Imran, ayat 142 yang artinya:
“Apakah kamu mengira bahwa
kamu akan masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di
antaramu dan belum nyata orang yang sabar.”
Bagaimana perasaan kita
apabila insan yang kita kasihi menyinggung perasaan kita? Apakah kita terus
berkecil hati dan meletakkan kesalahan kepada insan berkenaan? Tidak
terlintaskah untuk merasakan di dalam hati seumpama ini:
“Ya Allah! Ampunilah aku.
Sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya
kasih-Mu yang abadi dan hanya hidup di sisi-Mu saja yang abadi. Selamatkanlah
aku dari tipu daya yang mengasyikkan. ”
Sesungguhnya apa juga
lintasan hati dan luahan rasa yang tercetus daripada kita bergantung kepada
cara hati kita berhubung dengan Allah. Semakin kita kenali keluhuran cinta
kepada Allah, maka bertambah erat ketergantungan hati kita kepada Allah dan
melahirkan keyakinan cinta dan kasih yang selalu subur.
Lanjutan itu jiwa kita tidak
mudah merasa kecewa dengan gelagat sesama insan yang beragam ragam. Keadaan
begini sebenarnya terlebih dahulu perlu dipupuk dengan melihat serta merenungi
alam yang terbentang luas ini sebagai anugerah besar dari Allah untuk maslahat
kehidupan manusia. Kemudian cobalah hitung betapa banyaknya nikmat Allah kepada
kita.
Dengan itu kita akan sadar
bahwa kita sebenarnya hanya bergantung kepada Allah. Mulai dari sini kita akan
mampu membangun perasaan cinta terhadap Allah yang kemudian harus diperkukuhkan
dengan mencintai titah perintah Allah. Mudah-mudahan nanti kita juga akan
menjadi perindu cinta Allah yang kekal abadi.
Kisah-Kisah Rabi’ah
al-Adawiyyah
Pada suatu hari seorang
lelaki datang kepada Rabiah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan
dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat,
apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara
tegas. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu
berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah
tebaran dosa saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun
yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat
saya?” “Pasti,” jawab Rabiah tak kalah tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan
tidak berkenan menerima tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak
menjalani tobat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata “akan” atau
“andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”
Memang ucapan sufi perempuan
itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan
pikirannya. Ia seorang mistisi yang sangat tinggi derajatnya dan tergolong
kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah
pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi.
Sesungguhnya ia lebih dikenal
sebagai seorang pendiri ‘agama cinta’ (mahabbah) dan ia pun dikenang sebagai
‘ibu para Sufi besar’ (The Mother of the Grand Master). Siapa sebenarnya ia
yang kepergiannya dielu-elukan kaum ‘suci’ itu? Tiada lain ia adalah tokoh
wanita bernama Rabiah Basri atau lebih dikenal sebagai Rabiah Al Adawiyah Al
Bashriyah, lahir pada tahun 713 M di Basrah (Irak), dari keluarga yang hina dina.
Sebagai anak keempat. Itu
sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup
sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan
kemewahan. Tidak seorang pun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya,
karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para
tetangganya.
Namun, karena saat itu sudah
jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail
pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah
untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa Ismail
masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa
yang terjadi di bilik itu.
Seberkas cahaya memancar dari
bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru
Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di
sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang
membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan
kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk
istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang
panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang
Menciptakan Kehidupan.
Sekonyong-konyong ia seolah
berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul
di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada
Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan
dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota
Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak
melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas
kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang
ditinggalkannya.
Ketika Ismail mengerjakan
seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota
Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat
tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh
karena itu, kepada Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan
jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian
dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota
Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya
cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu
untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan
Allah.
Ismail dan istrinya meninggal
ketika Rabiah masih kecil. Begitu pula ketiga kakak Rabiah, meninggal ketika
wabah kelaparan melanda kota Basrah. Dalam kesendirian itu, akhirnya Rabiah
jatuh ke tangan orang yang kejam, yang lalu menjualnya sebagai budak belian
dengan harga sangat murah. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya dibandingkan
dengan majikan sebelumnya.
Setelah bebas, Rabiah pergi
ke tempat tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya
sampailah ia di sebuah gubuk dekat Basra. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah
tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang
ia punyai dan teman dalam menjalani hidup kepertapaan.
Praktis sejak saat itu,
seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah swt. Berdoa dan berzikir adalah
hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus ‘akhirat’, ia lalai dengan urusan
duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang,
termasuk dari gubernur Basra dan seorang suci mistis terkenal, Hasan Basri,
Rabiah tetap tak tertarik untuk mengakhiri masa lajangnya. Hal ini ia jalani
hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M.
Dalam perjalanan kesufian
Rabiah, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi
satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran
jika ia ‘merendahkan manusia’ dan mengabdi pada dorongan untuk meraih
kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari
agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim
formal.
Menjadi Sufi dalam perjalanan
Rabiah adalah “berlalu dari sekadar Ada menjadi benar benar Ada”. Sufisme
Rabiah merupakan pilihan dari jebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna. Karena
demikian mendalam cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan
sejengkal pun rasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang Sufi yang
hidup semasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya,
Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya
raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi,
apalagi harta.
Cinta Rabiah tak dapat
disebut sebagai cinta yang mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah
perjalanan mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi
pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat
sebuah doa yang mirip syair, ia berujar, “Jika aku menyembah-Mu karena takut
pada api neraka maka masukkan aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena
tamak kepada surga-Mu, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku
menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, maka berikanlah aku balasan yang
besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha
Mulia itu.”
Perjalanan hidup Rabiah
diwarnai dengan kekaribannya dengan situasi yang penuh keterbatasan; tinggal
bersama kedua orang tua dan saudara saudaranya, dijual sebagai budak, menghamba
pada tuannya hingga dibebaskan dari perbudakan, lalu hidup mengembara. Periode
pertama ini dikenal sebagai periode asketik Rabiah.
Fariduddin al-Attar
menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup
seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain
musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi
yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain
itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran
ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka
ditinggalkannya semua itu.
Ia tidak lagi meniup
seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu
dengan beribadah dan berzikir. Periode yang kedua ini disebut sebagai periode
Sufi, suatu periode tatkala Rabiah telah mencapai mahabbattullah (cinta pada
Allah) sampai meninggal dan dipuji sebagai Testimony of Belief (Bukti
Keimanan).
Doris Lessing, seorang
pengamat perjalanan hidup Rabiah, memberi kesimpulan bahwa sufisme tokoh wanita
ini adalah bentuk sufisme cinta. Sejenis sufisme yang menempatkan cinta
(mahabbah) sebagai panggilan jiwanya. Sufisme yang tak bermaksud larut dalam
ekstatik (gairah yang meluap) serta tak berdimensi pemujaan atau pemuliaan dan
metode-metode tambahan yang penuh dengan sakramen.
Kendati demikian, pengalaman
Rabiah adalah pengalaman orang suci yang sulit ditiru oleh awam. Memahami
Rabiah sangat sulit. Seperti masa hidupnya, Rabiah tampaknya jauh dari kita.
Selain itu, kesempurnaan yang menyertainya tak mungkin dapat ditandingi oleh
orang-orang biasa.
Apa yang dilakukan Rabiah
dalam hidupnya sebetulnya adalah ikhtiar untuk membiasakan diri ‘bertemu’
dengan pencipta-Nya. Di situlah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan,
kepastian, dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini sangat dirindukan oleh
manusia modern. Karena itu, menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang
tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya
bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah cinta.
Menarik kita simak beberapa
doa Rabiah yang dipanjatkan pada waktu larut malam, di atas atap rumahnya: “O
Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia telah tidur nyenyak, dan
raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masyuk
dengan kesayangannya, dan di sinilah aku sendirian bersama Engkau.”
Jika fajar telah merekah dan
serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya,
illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya
malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu
bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku
mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku
telah terikat dengan-Mu.”
Lantas, jika Rabiah membuka
jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera
berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung
mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu
kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur
menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.
Tentang masa depannya ia
pernah ditanya oleh Sufyan Tsauri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah
mengelak, “Pernikahan merupakan kewajiban bagi mereka yang mempunyai pilihan.
Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.”
“Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah
kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu,
sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu
menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”
Ada suatu cerita ketika
Rabiah al-Adawiyah makan bersama dengan keluarganya. Sebelum menyantap hidangan
makanan yang tersedia, Rabi’ah memandang ayahnya seraya berkata, “Ayah, yang
haram selamanya tak akan menjadi halal. Apalagi karena ayah merasa berkewajiban
memberi nafkah kepada kami.” Ayah dan ibunya terperanjat mendengar kata-kata
Rabi’ah. Makanan yang sudah di mulut akhirnya tak jadi dimakan. Ia pandang
Rabi’ah dengan pancaran sinar mata yang lembut, penuh kasih. Sambil tersenyum,
si ayah lalu berkata, “Rabi’ah, bagaimana pendapatmu, jika tidak ada lagi yang
bisa kita peroleh kecuali barang yang haram?” Rabi’ah menjawab: “Biar saja kita
menahan lapar di dunia, ini lebih baik daripada kita menahannya kelak di
akhirat dalam api neraka.” Ayahnya tentu saja sangat heran mendengar jawaban
Rabi’ah, karena jawaban seperti itu hanya didengarnya di majelis-majelis yang
dihadiri oleh para sufi atau orang-orang saleh. Tidak terpikir oleh ayahnya,
bahwa Rabi’ah yang masih muda itu telah memperlihatkan kematangan pikiran dan
memiliki akhlak yang tinggi (Abdul Mu’in Qandil).
Penggalan kisah di atas
sebenarnya hanya sebagian saja dari kemuliaan akhlak Rabi’ah al-Adawiyah,
seorang sufi wanita yang nama dan ajaran-ajarannya telah memberi inspirasi bagi
para pecinta Ilahi. Rabi’ah adalah seorang sufi legendaries. Sejarah hidupnya
banyak diungkap oleh berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi.
Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi,
sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh
jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran
mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia
tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak
mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi
dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
Sepanjang sejarahnya, konsep
Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah ini telah banyak dibahas
oleh berbagai kalangan. Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna
dan hakikat yang terdalam dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi,
Mahabbatullah tak lain adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang harus
dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam
beribadah) bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali
misalnya mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagi maqam, kecuali
hanya merupakan buah dari padanya serta mengikuti darinya, seperti rindu
(syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla)”.
Rabi’ah telah mencapai puncak
dari maqam itu, yakni Mahabbahtullah. Untuk menjelaskan bagaimana Cinta Rabi’ah
kepada Allah, tampaknya agak sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata. Dengan
kata lain, Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti, baik
melalui kata-kata maupun simbol-simbol. Para sufi sendiri berbeda-beda pendapat
untuk mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab, pendefinisian Cinta Ilahi lebih
didasarkan kepada perbedaan pengalaman spiritual yang dialami oleh para sufi
dalam menempuh perjalanan ruhaninya kepada Sang Khalik. Cinta Rabi’ah adalah
Cinta spiritual (Cinta qudus), bukan Cinta al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau
Cinta yang lain. Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi
empat bagian.
Pertama,
mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari azab
Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah
salib, Yahudi, dan lain-lain juga mencintai Allah.
Kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat dengan cinta ini.
Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
Keempat, Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.
Kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat dengan cinta ini.
Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
Keempat, Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.
Pokok ibadah, menurut Ibnu
Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, bahkan mengkhususkan hanya Cinta kepada Allah
semata. Jadi, hendaklah semua Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai
yang lain bersamaan mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena
Allah dan berada di jalan Allah.
Cinta sejati adalah bilamana
seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa
sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan
hendaklah engkau cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu
melebihi Cintamu kepada-Nya. Sebuah sya’ir mengatakan:
Aku
cemburu kepada-Nya,
Karena aku Cinta kepada-Nya,
Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku,
Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku
Karena aku Cinta kepada-Nya,
Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku,
Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku
Oleh karena itu, setiap Cinta
yang bukan karena Allah adalah bathil. Dan setiap amalan yang tidak dimaksudkan
karena Allah adalah bathil pula. Maka dunia itu terkutuk dan apa yang ada di
dalamnya juga terkutuk, kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya
Rabi’ah berarti empat, karena
dia adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya perempuan. Pernah suatu
ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai anak laki-laki. hal ini disebabkan
karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang serba kekurangan dan
penuh penderitaan. Apalagi dengan kelahiran seorang perempuan Rabi’ah, beban
penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak
dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang
karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak
bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.
Semasa hidupnya ayah Rabi’ah
selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan. Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak
kecil hingga dewasanya hidup serba kekurangan, namun ia sama sekali tidak
menciutkan hatinya untuk terus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan
keluarganya ia jadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudian
melegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antara deretan
sejarah para sufi.
Rabi’ah memang tidak mewarisi
karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan.
Namun begitu, Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis
biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan karyanya
Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya
Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’I asy-Syafi’i (w. 1367 M)
dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam
Kehidupan Para Orang Saleh), dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya
Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).
Dari sekian banyak penulis
biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Awliya’ karya Fariduddin Aththar tampaknya
dianggap sebagai buku biografi yang paling mendekati kehidupan Rabi’ah,
terutama ketika awal-awal Rabi’ah akan lahir di tengah keluarga yang sangat
miskin itu (tapi ada yang menyebutkan bahwa keluarga Rabi’ah sebenarnya
termasuk keturunan bangsawan). Riwayat Aththar, yang dikutip Margaret Smith
dalam bukunya Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam (sebuah
disertasi, terbitan Cambridge University Press, London, 1928), antara lain
banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasanya.
Aththar menceritakan mengenai
nasib malang yang menimpa keluarga Rabi’ah. Saat Rabi’ah menginjak dewasa, ayah
dan ibunya kemudian meninggal dunia. Jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu.
Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basrah dilanda
kelaparan hebat. Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa harus berpencar,
sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itu sendirian.
Suatu hari, ketika sedang
berjalan-jalan di kota Basrah, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang
memiliki niat buruk. Laki-laki itu lalu menarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai
seorang budak seharga enam dirham kepada seorang laki-laki. Dalam statusnya
sebagai budak, Rabi’ah benar-benar diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam
tenaga Rabi’ah diperas tanpa mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seorang
laki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar. Ketika
laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudian jatuh terpeleset.
Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata: “Ya Allah, aku adalah seorang
musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan seorang budak. Aku telah
terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian
ini, hanya aku ingin sekali ridla-Mu. Aku ingin sekali mengetahui apakah Engkau
Ridla terhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia mendengar suara yang mengatakan,
“Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama
dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam surga.”
Setelah itu, Rabi’ah kembali
pulang pada tuannya dan tetap menjalankan ibadah puasa sambil melakukan
pekerjaannya sehari-hari. Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup
berdiri di atas kakinya hingga siang hari.
Pada suatu malam, tuannya
sempat terbangun dari tidurnya dan dari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah
sedang sujud beribadah. Dalam shalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku,
Engkau-lah Yang Maha Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti
perintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, maka aku
tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah kepada-Mu, ya
Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.” Tatkala Rabi’ah masih
khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat ada sebuah lentera yang tergantung di
atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun yang mengikatnya. Lentera yang
menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa
Hebrew “Shekina”, artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.
Melihat peristiwa aneh yang
terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah tentu saja merasa ketakutan. Ia
kemudian bangkit dan kembali ke tempat tidurnya semula. Sejenak ia tercenung
hingga fajar menyingsing. Tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara
kepadanya dengan baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah
pun pamitan pergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.
Dalam pengembaraannya Rabi’ah
berkeinginan sekali untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia
berangkat juga dengan ditemani seekor keledai sebagai pengangkut
barang-barangnya. Sayangnya, belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai
itu tiba-tiba mati di tengah jalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan
kafilah dan mereka menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang
miliknya. Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin
meminta bantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percaya pada bantuan
Allah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya.
Orang-orang itu pun memahami
keinginan Rabi’ah, sehingga mereka meneruskan perjalanannya. Rabi’ah terdiam
dan kemudian menundukkan kepalanya sambil berdoa, “Ya Allah, apalagi yang akan
Engkau lakukan dengan seorang perempuan asing dan lemah ini? Engkau-lah yang
memanggilku ke rumah-Mu (Ka’bah), tetapi di tengah jalan Engkau mengambil
keledaiku dan membiarkan aku seorang diri di tengah padang pasir ini.”
Setelah asyik bermunajat, di
depan Rabi’ah tampak keledai yang semula mati itu pun hidup kembali. Rabi’ah
tentu saja gembira karena bisa meneruskan perjalannya ke Mekkah.
Dalam cerita yang berbeda
disebutkan, saat Rabi’ah berada di tengah padang pasir, ia berdoa, “Ya Allah,
ya Tuhanku. Hatiku ini merasa bingung sekali, ke mana aku harus pergi? Aku
hanyalah debu di atas bumi ini dan rumah itu (Ka’bah) hanyalah sebuah batu
bagiku. Tampakkanlah wajah-Mu di tempat yang mulia ini.” Bgeitu ia berdoa
sehingga muncul suara Allah dan langsung masuk ke dalam hatinya tanpa ada
jarak, “Wahai Rabi’ah, ketika Musa ingin sekali melihat wajah-Ku, Aku hancurkan
Gunung Sinai dan terpecah menjadi empat puluh potong. Tetaplah berada di situ
dengan Nama-Ku.”
Diceritakan pula, saat
Rabi’ah dalam perjalanannya ke Mekkah, tiba-tiba di tengah ia melihat Ka’bah
datang menghampiri dirinya. Rabi’ah lalu berkata, “Tuhanlah yang aku rindukan,
apakah artinya rumah ini bagiku? Aku ingin sekali bertemu dengan-Nya yang
mengatakan, ‘Barangsiapa yang mendekati Aku dengan jarak sehasta, maka Aku akan
berada sedekat urat nadinya.’ Ka’bah yang aku lihat ini tidak memiliki kekuatan
apa pun terhadap diriku, kegembiraan apa yang aku dapatkan apabila Ka’bah yang
indah ini dihadapkan pada diriku?” Singkat cerita, sekembalinya Rabi’ah dari
menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia kemudian menetap di Basrah dan mengabdikan
seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah seraya melakukan
perbuatan-perbuatan mulia.
Sebagaimana yang banyak
ditulis dalam biografi Rabi’ah al-Adawiyah, wanita suci ini sama sekali tidak
memikirkan dirinya untuk menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah
merupakan tindakan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus
dibebani oleh urusan-urusan keduniawian. Padahal, tidak sedikit laki-laki yang
berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranya adalah
Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia juga seorang teolog
dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota Basrah.
Suatu ketika, Abdul Wahid bin
Zayd sempat mencoba meminang Rabi’ah. Tapi lamaran itu ditolaknya dengan
mengatakan, “Wahai laki-laki sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama
dengan mereka. Apakah engkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?”
Laki-laki lain yang pernah
mengajukan lamaran kepada Rabi’ah adalah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi,
seorang Amir Abbasiyah dari Basrah (w. 172 H). Untuk berusaha mendapatkan
Rabi’ah sebagai istrinya, laki-laki itu sanggup memberikan mahar perkawinan
sebesar 100 ribu dinar dan juga memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih
memiliki pendapatan sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab oleh
Rabi’ah, ”Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi budakku dan
semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau akan menarikku dari
Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.”
Dalam kisah lain disebutkan,
ada laki-laki sahabat Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri yang juga berniat sama
untuk menikahi Rabi’ah. Bahkan para sahabat sufi lain di kota itu mendesak
Rabi’ah untuk menikah dengan sesama sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalu
mengatakan, “Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar di
antara kalian.” Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.” Rabi’ah
kemudian mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapat menjawab empat
pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.” Hasan al-Bashri berkata,
“Bertanyalah, dan jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”
“Pertanyaan pertama,” kata
Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku
nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah
Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”
“Pertanyaan kedua, pada waktu
aku dalam kubur nanti, di saat Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah
aku menjawabnya?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.”
“Pertanyaan ketiga, pada saat
manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua
nanti akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri.
Bagaimana denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?”
Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu.”
“Pertanyaan terakhir, pada
saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian
lain masuk neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi
menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui
semua rahasia yang tersembunyi itu.
Selanjutnya, Rabi’ah
mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Aku telah mengajukan empat pertanyaan
tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami yang kepadanya aku menghabiskan
waktuku dengannya?” Dalam penolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan
sebuah sya’ir yang cukup indah.
Damaiku,
wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.
Begitulah, meskipun sebagai
manusia, Rabi’ah tak pernah tergoda sedikit pun oleh berbagai keindahan dunia
fana. Sampai wafatnya, ia hanya lebih memilih Allah sebagai Kekasih sejatinya
semata ketimbang harus bercinta dengan sesama manusia. Meskipun demikian,
disebutkan bahwa Rabi’ah memiliki sejumlah sahabat pria, dan sangat sedikit
sekali ia bersahabat dengan kaum perempuan. Di antara sahabat-sahabat Rabi’ah
yang cukup dekat misalnya Dzun Nun al-Mishri, seorang sufi Mesir yang
memperkenalkan ajaran doktrin ma’rifat. Sufi ini meninggal pada tahun 856 M dan
sempat bersahabat dengan Rabi’ah selama kurang lebih setengah abad. Bahkan ada
yang menyebutkan bahwa pertemuan antara Dzun Nun al-Mishri dengan Rabi’ah ini
terjadi sejak awal-awal usianya.
Di kalangan para sahabat
sufi-nya itu, Rabi’ah banyak sekali berdiskusi dan berbincang tentang
Kebenaran, baik siang maupun malam. Salah seorang sahabat Rabi’ah, Hasan
al-Bashri, misalnya menceritakan: “Aku lewati malam dan siang hari bersama-sama
dengan Rabi’ah, berdiskusi tentang Jalan dan Kebenaran, dan tak pernah
terlintas dalam benakku bahwa aku adalah seorang laki-laki dan begitu juga Rabi’ah,
tak pernah ada dalam pikirannya bahwa ia seorang perempuan, dan akhirnya aku
menengok dalam diriku sendiri, baru kusadari bahwa diriku tak memiliki apa-apa,
yaitu secara spiritual aku tidak berharga, Rabi’ah-lah yang sesungguhnya
sejati.
Dalam kisah lain, diceritakan
bahwa pada suatu hari Rabi’ah melewati lorong rumah Hasan al-Bashri. Hasan
melihatnya melalui jendela dan menangis, hingga air matanya jatuh menetes
mengenai jubah Rabi’ah. Ia menengadah ke atas, dan berpikir bahwa hari tidaklah
hujan, dan ketika ia menyadari bahwa itu air mata sahabatnya, lalu dihampirinya
sahabat yang sedang menangis tersebut seraya berkata, “Wahai guruku, air itu
hanyalah air mata kesombongan diri saja dan bukan akibat dari melihat ke dalam
hatimu, di mana dalam hatimu air itu akan membentuk sungai yang di dalamnya
tidak akan engkau dapati lagi hatimu, kecuali ia telah bersama dengan Tuhan
Yang Maha Kuasa.” Setelah mendengar kata-kata Rabi’ah itu, Hasan tampak hanya
bisa berdiam diri.
Di kalangan para sahabatnya,
kehidupan Rabi’ah dirasakan banyak memberi manfaat. Hal ini dikarenakan Rabi’ah
banyak sekali memperhatikan kehidupan mereka. Perhatian Rabi’ah yang cukup
besar kepada para sahabatnya itu, misalnya saja dibuktikan dengan kisah sebagai
berikut: Suatu ketika, ada seorang laki-laki yang meminta agar Rabi’ah
mendoakan untuk dirinya. Tapi permohonan itu dibalas oleh Rabi’ah dengan rasa
rendah hati, “Wahai, siapakah diriku ini? Turutlah perintah Allah dan berdoalah
kepada-Nya, sebab Dia akan menjawab semua doa bila engkau memohonnya.”
Ke-zuhud-an Rabi’ah
al-Adawiyah
Sebagaimana diungkapkan
terdahulu, Rabi’ah sejak kecil sudah memiliki karakter yang tidak begitu banyak
memperhatikan kehidupan duniawi. Hidupnya sederhana dan sangat besar
hati-hatinya terhadap makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Bahkan
saking zuhudnya, Rabi’ah sering menolak setiap bantuan yang datang dari para
sahabatnya, tetapi sebaliknya Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayani
Tuhannya. Selepas dirinya dari perbudakan, Rabi’ah memilih hidup menyendiri di
sebuah gubuk sederhana di kota Basrah tempat kelahirannya. Ia meninggalkan
kehidupan duniawi dan hidup hanya untuk beribadah kepada Allah.
Tampaknya, keinginan untuk
hidup zuhud dari kehidupan duniawi ini benar-benar ia jalankan secara konsisten.
Pernah misalnya Al-Jahiz, seorang sufi generasi tua, menceritakan bahwa
beberapa dari sahabatnya mengatakan kepada Rabi’ah, “Andaikan kita mengatakan
kepada salah seorang keluargamu, pasti mereka akan memberimu seorang budak,
yang akan melayani kebutuhanmu di rumah ini.” Tetapi ia menjawab, “Sungguh, aku
sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada Pemilik dunia ini, bagaimana aku
harus meminta kepada yang bukan memiliki dunia ini?” Tiba-tiba terdengar suara
mengatakan:
“Jika engkau menginginkan
dunia ini, maka akan Aku berikan semua dan Aku berkahi, tetapi Aku akan
menyingkir dari dalam kalbumu, sebab Aku tak mungkin berada di dalam kalbu yang
memiliki dunia ini. Wahai Rabi’ah, Aku mempunyai Kehendak dan begitu juga
denganmu. Aku tidak mungkin menggabungkan dua kehendak itu di dalam satu
kalbu.”
Rabi’ah kemudian mengatakan,
“Ketika mendengar peringatan itu, kutanggalkan hati ini dari dunia dan
kuputuskan harapan duniawiku selama tiga puluh tahun. Aku salat seakan-akan ini
terkahir kalinya, dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk
lainnya, aku takut mereka akan menarikku dari diri-Nya, maka akau katakana, “Ya
Tuhan, sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut-Mu, jangan Engkau biarkan
mereka menarikku dari-Mu.”
Sebagai seorang zahid,
Rabi’ah senantiasa bermunajat kepada Allah agar dihindarkan dari
ketergantungannya kepada manusia. Namun, perjalanan zuhud yang dialami Rabi’ah
tampaknya tidak mudah begitu saja dilalui. Di depan, banyak tantangan dan
cobaan yang harus ia hadapi. Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena
sebagai manusia, tak mungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata.
Meskipun demikian, Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yang
datang selain dari Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan (faqr),
namun kemiskinannya dianggap sebagai bagian dari kasih sayang Allah kepada
Rabi’ah.
Dalam satu kisah misalnya
disebutkan, sahabatnya Malik bin Dinar pada suatu waktu mendapati Rabi’ah
sedang terbaring sakit di atas tikar tua dan lusuh, serta batu bata sebagai
bantal di kepalanya. Melihat pemandangan seperti itu, Malik lalu berkata pada
Rabi’ah, “Aku memiliki teman-teman yang kaya dan jika engkau membutuhkan
bantuan aku akan meminta kepada mereka.” Rabi’ah mengatakan, “Wahai Malik,
engkau salah besar. Bukankah Yang memberi mereka dan aku makan sama?” Malik
menjawab, “Ya, memang sama.” Rabi’ah mengatakan, “Apakah Allah akan lupa kepada
hamba-Nya yang miskin dikarenakan kemiskinannya dan akankah Dia ingat kepada
hamba-Nya yang kaya dikarenakan kekayaannya?” Malik menyahut, “Tidak.” Rabi’ah
lalu kembali mengatakan, “Karena Dia mengetahui keadaanku, mengapa aku harus
mengingatkan-Nya? Apa yang diinginkan-Nya, kita harus menerimanya.”
Sikap zuhud yang ditampilkan
Rabi’ah sesungguhnya tiada lain agar ia hanya lebih mencintai Allah ketimbang
makhluk-makhluknya. Karena itu, hidup dalam kefakiran baginya bukanlah halangan
untuk beribadah dan lebih dekat dengan Tuhannya. Dan, toh, Rabi’ah menganggap
bahwa kefakiran adalah suatu takdir, yang karenanya ia harus terima dengan
penuh keikhlasan. Kebahagiaan dan penderitaan, demikian menurut Rabi’ah, adalah
datang dari Allah. Dan dalam perjalanannya sufistiknya itu, Rabi’ah sendiri
telah melaksanakan pesan Rasulullah: “Zuhudlah engkau pada dunia, pasti Allah
akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada pada manusia, pasti manusia akan
mencintaimu.”
Cinta Ilahi Rabi’ah
al-Adawiyah
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah)
dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah
dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara
mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa
dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan
ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi
dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa
pun.
Apa yang diajarkan Rabi’ah
melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri
dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan
al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan
harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi
kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga,
namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan
karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai
berikut:
Ya
Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.
Cinta
Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun
tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah
ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat
mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari
mencintai makhluknya.”
Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”
Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”
Allah adalah teman sekaligus
Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada
dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena
itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam
salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepada Teman
dan Kekasihnya itu:
Kujadikan
Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
Menurut kaum sufi, proses
perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat.
Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu
melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur.
Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan.
Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum
terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah
tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus
mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
“Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. 5: 59).
Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah
tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu
ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya.
Doanya:
Tuhanku,
malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.
Cinta bagi Rabi’ah telah
mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi
bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah
jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang
mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan
ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari
Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan
kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di
akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan
memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah
mengatakan:
Aku
mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.
Abu Thalib al-Makki dalam
mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah
melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak
melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat
dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi,
dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini
serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya
kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah
menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan
di dalam hatinya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan
hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun
ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap
menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat
yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun
ia merasa harus mencintai-Nya.
Al-Makki melanjutkan, bagi
Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena
doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu
akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah
dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan).
Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah
sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat)
(Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret Smith, 1928).
Rabi’ah dan menjelang hari
kematiannya
Dikisahkan, Rabi’ah telah
menjalani masa hidup selama kurang lebih 90 tahun. Dan selama itu, ia hanya
mengabdi kepada Allah sebagai Pencipta dirinya, hingga Malaikat Izrail
menjemputnya. Tentu saja, Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana Allah
selalu berada dekat dengannya. Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ah
mengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam akhirat, tak
pernah terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali hanya ta’zhim
(mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali meminta kepada
makhluk ciptaan-Nya.
Berbagai kisah menjelang
kematian Rabi’ah menyebutkan, di antaranya pada masa menjelang kematian
Rabi’ah, banyak sekali orang alim duduk mengelilinginya. Rabi’ah lalu meminta
kepada mereka: ‘Bangkit dan keluarlah! Berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh
Allah Yang Maha Agung!’ Maka semua orang pun bangkit dan keluar, dan pada saat
mereka menutup pintu, mereka mendengar suara Rabi’ah mengucapkan kalimat
syahadat, setelah itu terdengar sebuah suara: “Wahai jiwa yang tenang,
kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya. Maka masuklah bersama
golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. 89: 27-30).
Setelah itu tidak terdengar
lagi suara apa pun. Pada saat mereka kembali masuk ke kamar Rabi’ah, tampak
perempuan tua renta itu telah meninggalkan alam fana. Para dokter yang berdiri
di hadapannya lalu menyuruh agar jasad Rabi’ah segera dimandikan, dikafani,
disalatkan, dan kemudian dibaringkan di tempat yang abadi.
Kematian Rabi’ah telah
membuat semua orang yang mengenalnya hampir tak percaya, bahwa perempuan suci
itu akan segera meninggalkan alam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat
dicintainya. Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang
selama hidupnya penuh penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia.
Setiap orang sudah pasti akan mengenang Rabi’ah, sebagai sufi yang telah
berjumpa dengan Tuhannya.
Karenanya, setelah kematian
Rabi’ah, seseorang lalu pernah memimpikanya. Dia mengatakan kepada Rabi’ah, “Ceritakanlah
bagaimana keadaanmu di sana dan bagaimana engkau dapat lolos dari Munkar dan
Nakir?” Rabi’ah menjawab, “Mereka datang menghampiriku dan bertanya, “Siapakah
Tuhanmu?’ Aku katakana, “Kembalilah dan katakan kepada Tuhanmu, ribuan dan
ribuan sudah ciptaan-Mu, Engkau tentunya tidak akan lupa pada perempuan tua
lemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu di dunia, tidak pernah melupakan-Mu.
Sekarang, mengapa Engkau harus bertanya, ‘Siapa Tuhanmu?’”
Meskipun hidup Rabiah seperti
berlangsung linear dan konstan, seluruh energi hidupnya dia abdikan untuk
cinta, Rabiah memberi tahu kepada kita bahwa hidup memang tidak sederhana,
seperti yang dijalaninya. Hidup itu begitu rumit, kadang kadang ada kemesraan
dan kadang-kadang ada kehidmatan bertahta.
Rabiah wafat dengan
meninggalkan pengalaman sufistik yang tak terhingga. Hikmah yang ditinggalkan
sangat berharga dan patut kita gali sebagai ‘makrifat’ hidup. Kini Rabi’ah
telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan
kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan
bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta
Ilahi. Rabi’ah meninggal dunia pada 135 Hijrah yaitu ketika usianya menjangkau
80 tahun. Moga-moga Allah meridai, amin…
RABIAH ALADAWIAH
Tuhanku,
tenggelamkan aku dalam cinta-Mu
Hingga tak ada sesuatupun yang menggangguku dalam jumpa-Mu
Tuhanku, bintang-gemintang berkelap-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat tertutup
Tuhanku, demikian malampun berlalu
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku Kau Terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau Tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mu lah
Inilah yang akan selalu ku lakukan
Selama Kau Beri aku kehidupan
Demi kemanusiaan-Mu,
Andai Kau Usir aku dari pintu-Mu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu
Hingga tak ada sesuatupun yang menggangguku dalam jumpa-Mu
Tuhanku, bintang-gemintang berkelap-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat tertutup
Tuhanku, demikian malampun berlalu
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku Kau Terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau Tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mu lah
Inilah yang akan selalu ku lakukan
Selama Kau Beri aku kehidupan
Demi kemanusiaan-Mu,
Andai Kau Usir aku dari pintu-Mu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu
Ya
Allah, apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuh-Mu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuh-Mu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku
***********
Aku
mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu
Yang abadi padaku
Bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu
Yang abadi padaku
***********
Ya Allah
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
Kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, diantara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa dengan-Mu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakan
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau Kehendaki
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
Kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, diantara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa dengan-Mu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakan
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau Kehendaki
***********
Aku
mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu, adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk semua itu
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu, adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk semua itu
***********
Buah
hatiku, hanya Engkau yang kukasihi
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau
***********
Hatiku
tenteram dan damai jika aku diam sendiri
Ketika Kekasih bersamaku
Cinta-Nya padaku tak pernah terbagi
Dan dengan benda yang fana selalu mengujiku
Kapan dapat kurenungi keindahan-Nya
Dia akan menjadi mihrabku
Dan rahasia-Nya menjadi kiblatku
Bila aku mati karena cinta, sebelum terpuaskan
Akan tersiksa dan lukalah aku di dunia ini
O, penawar jiwaku
Hatiku adalah santapan yang tersaji bagi mau-Mu
Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan-Mu
O, sukacita dan nyawaku, semoga kekal lah
Jiwaku, Kau lah sumber hidupku
Dan dari-Mu jua birahiku berasal
Dari semua benda fana di dunia ini
Dariku telah tercerah
Hasratku adalah bersatu dengan-Mu
Melabuhkan rindu
Ketika Kekasih bersamaku
Cinta-Nya padaku tak pernah terbagi
Dan dengan benda yang fana selalu mengujiku
Kapan dapat kurenungi keindahan-Nya
Dia akan menjadi mihrabku
Dan rahasia-Nya menjadi kiblatku
Bila aku mati karena cinta, sebelum terpuaskan
Akan tersiksa dan lukalah aku di dunia ini
O, penawar jiwaku
Hatiku adalah santapan yang tersaji bagi mau-Mu
Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan-Mu
O, sukacita dan nyawaku, semoga kekal lah
Jiwaku, Kau lah sumber hidupku
Dan dari-Mu jua birahiku berasal
Dari semua benda fana di dunia ini
Dariku telah tercerah
Hasratku adalah bersatu dengan-Mu
Melabuhkan rindu
***********
Sendiri
daku bersama Cintaku
Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang
Lintas dan penglihatan batin
Melimpahkan karunia atas do’a ku
Memahkotaiku, hingga enyahlah yang lain, sirna
Antara takjub atas keindahan dan keagungan-Nya
Dalam semerbak tiada tara
Aku berdiri dalam asyik-masyuk yang bisu
Ku saksikan yang datang dan pergi dalam kalbu
Lihat, dalam wajah-Nya
Tercampur segenap pesona dan karunia
Seluruh keindahan menyatu
Dalam wajah-Nya yang sempurna
Lihat Dia, yang akan berkata
“Tiada Tuhan selain Dia, dan Dialah Yang maha Mulia.”
Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang
Lintas dan penglihatan batin
Melimpahkan karunia atas do’a ku
Memahkotaiku, hingga enyahlah yang lain, sirna
Antara takjub atas keindahan dan keagungan-Nya
Dalam semerbak tiada tara
Aku berdiri dalam asyik-masyuk yang bisu
Ku saksikan yang datang dan pergi dalam kalbu
Lihat, dalam wajah-Nya
Tercampur segenap pesona dan karunia
Seluruh keindahan menyatu
Dalam wajah-Nya yang sempurna
Lihat Dia, yang akan berkata
“Tiada Tuhan selain Dia, dan Dialah Yang maha Mulia.”
***********
Rasa
riangku, rinduku, lindunganku,
Teman, penolong dan tujuanku,
Kaulah karibku, dan rindu pada-Mu
Meneguhkan daku
Apa bukan pada-Mu aku ini merindu
O, nyawa dan sahabatku
Aku remuk di rongga bumi ini
Telah banyak karunia Kau berikan
Telah banyak..
Namun tak ku butuh pahala
Pemberian ataupun pertolongan
Cinta-Mu semata meliput
Rindu dan bahagiaku
Ia mengalir di mata kalbuku yang dahaga
Adapun di sisi-Mu aku telah tiada
Kau bikin dada kerontang ini meluas hijau
Kau adalah rasa riangku
Kau tegak dalam diriku
Jika akku telah memenuhi-Mu
O, rindu hatiku, aku pun bahagia
Teman, penolong dan tujuanku,
Kaulah karibku, dan rindu pada-Mu
Meneguhkan daku
Apa bukan pada-Mu aku ini merindu
O, nyawa dan sahabatku
Aku remuk di rongga bumi ini
Telah banyak karunia Kau berikan
Telah banyak..
Namun tak ku butuh pahala
Pemberian ataupun pertolongan
Cinta-Mu semata meliput
Rindu dan bahagiaku
Ia mengalir di mata kalbuku yang dahaga
Adapun di sisi-Mu aku telah tiada
Kau bikin dada kerontang ini meluas hijau
Kau adalah rasa riangku
Kau tegak dalam diriku
Jika akku telah memenuhi-Mu
O, rindu hatiku, aku pun bahagia
0 Response to "KISAH ROBIA'H AL-ADAWIYAH"
Posting Komentar